Kamis, 15 September 2022

Kaca Benggala Wisrawa

Di pagi buta hari itu, dari salah satu sudut puri keputren istana Alengka samar terdengar gemeretak gigi karena menahan amarah, kecewa dan gundah gulana yang teramat dalam. Linangan air mata dari pelupuk yang terpejam terus saja membasahi pipi, seolah tak kuasa dihentikan oleh pemiliknya karena menahan kesedihan dan haru biru yang menyesakkan rongga dada. 

Adalah Begawan Wisrawa seorang raja yang telah lengser keprabon dan madeg pandhita, seorang yang telah kenyang makan asam garam kehidupan dan yang telah memiliki pengetahuan lahir maupun bathin itulah yang tengah merasakan keterpurukan itu.  


Kisah pilu Begawan Wisrawa itu bermula dari datangnya tamu agung dari Lokapala, Prabu Danapati atau Danaraja yang tak lain adalah putra kandungnya sendiri di pertapaan Girijambangan tempat dimana sang begawan tinggal dan hidup dalam kesehariannya. 


Diceritakan, setelah merasa dirinya cukup sementara putranya juga telah memasuki usia dewasa dan siap untuk melanjutkan tugas dalam mengemban pemerintahan, maka Prabu Wisrawa memutuskan untuk lengser keprabon dan memilih madeg pandhita, menjadi seorang resi atau begawan untuk menyempurnakan laku spiritual. Prabu Wisrawa  kemudian mewisuda sang putra, Wisrawana menjadi raja Lokapala yang kemudian dikenal sebagai Prabu Wisawarna, atau Prabu Danapati atau disebut juga Prabu Danaraja. 


Maksud kedatangan Prabu Danapati yang disertai ibundanya ke pertapaan Girijambangan ada kaitannya dengan Dewi Sukesi dari negeri Alengka yang amat elok rupawan, yang kejelitaannya telah masyhur dan memikat hati banyak ksatria dan para raja muda dari berbagai belahan negeri di seantero jagad. Tak terkecuali Prabu Danapati, dalam hati dan pikirannya selalu terbayang-bayang wujud sang elok rupawan yang senyatanya telah memikat dan menawan hatinya itu.

Ada hal yang sangat mengganggu hati Danapati oleh karena persyaratan mempersunting Dewi Sukesi itu tidaklah ringan malah terasa amat berat bagi dirinya. Syarat menjabarkan serat Sastra Jendra Hayuningrat Pangruwating Diyu kepada Dewi Sukesi telah menjadi batu sandungan yang besar oleh karena Danapati belum memahaminya. Hanya ada satu orang yang Ia yakini benar akan mampu menjabarkannya yaitu ayahandanya sendiri. 

"Duh kanjeng romo demikian inilah keadaan putra paduka hari-hari ini, sudilah kiranya kanjeng romo begawan memberi pepadhang, memberikan petuah pada hamba apa yang mesti hamba lakukan agar awan gelap dalam hati hamba segera berganti dengan terang yang menenteramkan". Demikianlah Danapati menutup segala cerita dan ungkapan isi hatinya kepada ayahandanya.


Terdorong rasa belas kasih dan keinginan sebagai orang tua agar puteranya beroleh kebahagiaan, Begawan Wisrawa berujar
"Danapati ngger putraku wong bagus, romo ikut prihatin akan keadaanmu ini pun romo memahami betul kegelisahanmu. Angger putraku Danapati, ketahuilah bahwa Prabu Sumali ayahanda Dewi Sukesi itu masih saudara seperguruan romo. Kiranya persaudaraan yang kami jalin selama ini akan membuat urusan menjadi lebih mudah. Romo percaya Prabu Sumali akan berkenan menerimamu sebagai menantunya. Baiklah ngger putraku, demi kebahagiaanmu romo tidak berkeberatan menjadi wakilmu meminang Dewi Sukesi. Romo sendiri yang akan pergi ke Alengka untuk mengikuti apapun gelaran sayembara itu. Romo akan berusaha sebaik-baiknya agar Dewi Sukesi benar-benar bisa menjadi permaisurimu". 

Kesanggupan yang disampaikan ayahandanya ini benar-benar melegakan hati Prabu Danapati. Harapannya kembali membuncah. Sekar kedaton Alengka yang menjadi impian dan pujaannya itu akan segera menjadi miliknya, permaisurinya.  Tak pelak selama perjalanan pulang dari pertapaan Girijambangan menuju Lokapala bibirnya tak henti berhiaskan senyum. 


Sementara itu di Alengka telah terjadi perang tanding yang seru antara Jambumangli dan para pelamar yang datang. Memang selain sayembara menjabarkan isi serat Sastra Jendra, ada sayembara lain yang digelar oleh Jambumangli, ksatria sakti adik kandung (cerita yang lain disebut sebagai keponakan) dari sang raja. Sesiapa saja yang ingin memboyong Dewi Sukesi, terlebih dulu harus bisa mengalahkan Jambumangli dalam sebuah perang tanding. Dan senyatanya Jambumangli memang amat sakti. Sampai hari itu belum ada satupun para pelamar yang berhasil mengalahkan Jambumangli. Mereka para raja muda dan ksatria itu pulang dengan tangan hampa. 

Apa yang menjadi latar belakang dari sayembara perang tanding Jambumangli ini akhirnya terungkap setelah kakak beradik itu bertemu dan saling berbicara dari hati ke hati. Prabu Sumali amat sangat terkejut demi mendengar pengakuan sang adik. Keterus-terangan Jambumangli bahwa Ia sangat mencintai Dewi Sukesi sang keponakannya sendiri itu menjadi beban berat bagi sang Prabu. Hal yang sangat tidak mungkin untuk dipenuhi olehnya sementara Jambumangli sendiri juga tidak bisa sama sekali melupakan dan menghilangkan rasa cintanya itu meski Ia telah berusaha dengan pergi meninggalkan Alengka selama tiga candra. Selama tiga bulan dalam pengasingannya demi membunuh perasaan cintanya itu tidak beroleh hasil sama sekali. Bahkan rasa-rasanya perasaan itu malah semakin melekat saja. 

Kenyataan pahit yang sangat menyakitkannya ini telah mendorongnya untuk mengambil sebuah keputusan bahwa kematian adalah jalan terbaik yang bisa ditempuh. Jambumangli memohon kepada sang kakak, Prabu Sumali agar bersedia membunuhnya saja. Namun bagi Prabu Sumali hal yang sedemikian itu tidak akan pernah terjadi.

Mendapati kenyataan yang ruwet nan buram ini Prabu Sumali merasa gundah hatinya, amat khawatir putrinya akan menjadi perawan kasep, perawan tua karena belum satupun para pelamar itu sanggup melawan Jambumangli. Belum lagi kemampuan menjabarkan serat Sastra Jendra, adalah langka sekali orang yang menguasai serat itu oleh karena ketinggian tingkatannya. Sebagai rajanya ilmu (makna bahsa dari sastra jendra) atau ilmu kasampurnan sebagai ujung akhir dari semua ilmu,  sudah barang tentu sangatlah sedikit orang yang bisa mencapai tataran itu. 


Dalam kungkungan kegundahan yang sedemikian itu, tanpa dinyana dan disangka-sangka datanglah tamu istimewa seorang sahabat lama dari Lokapala. Prabu Sumali sangat terhibur dan berkenan hatinya. Apalagi ketika sang tamu, Begawan Wisrawa mengutarakan niat kedatangannya untuk meminang Dewi Sukesi bagi puteranya sendiri Sang Danapati sri raja Lokapala. Rona kegembiraan di wajahnya itu tak bisa Ia sembunyikan lagi. Keyakinannya tebal bahwa mendung di Alengka akan segera lenyap tersaput oleh angin sejuk yang datang berhembus membawanya pergi. Sang terang telah menjelang.  

"He Begawan Wisrawa janganlah karena sahabat Prabu Sumali lalu engkau dengan sesuka hatimu mau memboyong Sukesi. Akulah si Jambumangli orang yang akan mencegahmu. Dengar baik-baik, Sukesi hanya aku ijinkan diboyong oleh siapa saja yang mampu mengalahkan aku. Apa engkau jauh-jauh dari Lokapala tidak mengetahui tetandingan ini? Apakah engkau gentar dengan Jambumangli? Ha ha ha ha". 
Suara keras dan sesumbaran Jambumangli dalam pertemuan itu benar-benar mengagetkan Prabu Sumali. Selain laku seperti itu tidaklah sopan, Prabu Sumali juga sangat mengkhawatirkan keselamatan Jambumangli. Ia tahu persis kemampuan Begawan Wisrawa. 

Prabu Sumali berusaha sekuat tenaga menahan Jambumangli namun ksatria Alengka itu tetap berkeras. 
"Jambumangli ngger anakku, hentikan ngger. Kamu bukan lawan sepadan Begawan Wisrawa, kamu keliru memilih lawan ngger. Jambumangli dhuh ngger yang ada aku akan kehilangan kamu ngger".

Berlaksa peringatan dari Prabu Sumali tak digubrisnya lagi hinggalah tetandingan dahsyat yang diinginkan Jambumangli itu akhirnya tak bisa dielakkan lagi. Duel maut yang menjadi ajang pembuktian kasantikan dan kadigjayaan masing-masing itu menjadi sebuah titik akhir dari perjalanan hidup Jambumangli. 


Sayembara pertama telah paripurna dengan gugurnya Jambumangli yang biar bagaimanapun tetap ditangisi dan disesali Prabu Sumali karena tidak kuasa lagi mencegahnya. Jambumangli oleh karena kekerasan hatinya agaknya telah melupakan sebuah nasehat bahwa di atas langit masih ada langit lagi yang lebih tinggi. Kegagalan mengukur diri sendiri telah menjadi petaka baginya.

Tugas Begawan Wisrawa tinggal menyisakan satu lagi, memenuhi keinginan Dewi Sukesi untuk memberikan wejangan dan penjabaran serat Sastra Jendra Hayuningrat Pangruwating Diyu.  Meski tinggal satu tugas namun beratnya beban ini melebihi sekedar perang tanding melawan Jambumangli oleh karena serat ini merupakan sebuah serat yang wingit dan amat rahasia, serat kepunyaan para Dewa dan orang-orang terpilih yang telah menjalani laku spiritual dengan sabar dan tekun.

Penjabaran serat ini memerlukan persiapan dan syarat tertentu dalam pelaksanaannya dimana dalam penjabarannya harus dalam ruangan tertutup dan tidak boleh terdengar oleh orang lain yang tidak berhak karena akan berdampak buruk bagi orang tersebut. Pun dengan Dewi Sukesi sebagai penerima wedharan, ia diharuskan mempersiapkan diri baik secara fisik maupun mental, jiwa dan raganya. Bebersih raga, bebersih hati dan pikirannya serta memanjatkan doa kepada Sang Maha Pencipta agar semuanya terlaksana dengan baik.

Sebuah bilik di salah satu sudut puri keputren itu telah tertutup dan terkunci rapat. Cahaya temaram, bahkan amat redup dari lampu yang dinyalakan pada ruangan itu telah menambah suasana menjadi wingit dan magis melengkapi kesunyiannya malam. Dengan duduk saling berhadapan Begawan Wisrawa telah memulai menjabarkan isi serat Sastra Jendra kepada Dewi Sukesi yang dengan seksama mendengarkan setiap uraian dan untaian kata sang begawan. Dari awal hingga akhir serat yang keseluruhannya itu telah benar-benar memikat hati Dewi Sukesi. Kebahagiaannya demi beroleh wedharan itu terpancar dari sinar matanya yang berbinar indah. Dewi Sukesi dengan tulus menghaturkan rasa terima kasihnya yang tak terhingga kepada Begawan Wisrawa karena keinginan terbesar dalam hidupnya telah terpenuhi.

"Nini Sukesi, tugas romo telah selesai, wedharan serat yang engkau inginkan itu telah paripurna. Bopo telah memenuhi semua persyaratan untuk memboyongmu ke Lokapala. Putraku si Danapati sudah lama menunggumu jangan biarkan ia menunggu lebih lama lagi. Maka sesegeralah seusai semua ini bersiap untuk meninggalkan Alengka dan menjadi permaisuri Lokapala".
  
"Dhuh romo begawan sudilah memaafkan Sukesi karena berat bagi Sukesi memenuhi harapan romo. Sukesi telah bersumpah dan Sukesi tidak sanggup melanggar sumpah Sukesi sendiri karena hal demikian akan menjadi beban berat dalam hidup Sukesi kelak. Dengan melanggar sumpahnya sendiri apa faedahnya hidup Sukesi ini romo. Selain dari itu romo begawan, Sukesi tidak mengenal Prabu Danapati, selama ini Sukesi hanya mendengar namanya saja. Mana mungkin Sukesi menjalani hidup dengan putra romo sementara Sukesi bertemu dan mengenalnya pun tidak. Hidup bersama dalam mahligai rumah tangga itu mestilah didasari adanya rasa cinta dari dalam hati kedua insan itu romo". 

Begawan Wisrawa masih berusaha membujuk Sukesi dengan menepis segala hal yang sempat terlintas dalam benak pikirannya. Dengan tenang ia berkata:
"Sudahlah nini Sukesi, kasihanilah putraku Si Danapati itu. Alangkah sedih hatinya jika  mendapati ayahandanya pulang dengan tangan hampa. Danapati telah jatuh hati dan tergila-gila padamu. Bantulah Romo yang telah menyanggupi untuk membahagiakan putra romo ya nini, nini Dewi Sukesi". 
 
Sambil bersimpuh dan beringsut mendekat ke hadapan Begawan Wisrawa, Sukesi menuntaskan segala ganjalan dalam hatinya
"Romo begawan Wisrawa, mohon romo tidak hanya memperhatikan putra romo si Danapati itu saja. Mohon romo perhatikan diri Sukesi ini, kasihanilah Sukesi agar jangan melanggar sumpahnya sendiri. Semenjak romo datang kesini lalu menjabarkan dengan gamblang isi serat Sastra Jendra, hati Sukesi telah diliputi rasa bahagia, rasa tenteram. Mohon romo begawan tidak mencabutnya dari lubuk hati Sukesi. Lebih dari itu semua..." Suara Sukesi berubah menjadi agak tersendat dan bergetar

"Sukesi mohon maaf yang sebesar-besarnya romo, hati Sukesi telah tertambat pada romo, dari lubuk hati Sukesi yang paling dalam Sukesi tulus mencintai romo, Sukesi tidak sanggup hidup jauh dari romo begawan Wisrawa". Pelan rintih tangis Sukesi merambat, menyentuh telinga dan perasaan hati sang begawan.

"Hmmmm nini Dewi,,,nini Dewi Sukesi..." Tertegun begawan Wisrawa demi mendengar ungkapan hati Sukesi yang bergetar diselingi rintih tertahan itu. Lalu hanya kalimat itulah yang sanggup keluar dari lisan sang begawan. Lidahnya tercekat seolah mengering karena gejolak kuat yang ada di dalam rongga dadanya.

Diperhatikannya baik-baik sesosok wanita dewasa yang ada dihadapannya itu, dari ujung kepala hingga ke ujung kakinya. Parasnya amat elok yang keelokannya itu tak bisa tersembunyi dari redupnya ruangan atau malahan rona paras itulah sebenarnya yang menjadi penerang dari ruangan itu. Rambutnya hitam legam panjang sepinggang, kulit rupa langsat membungkus seluruh permukaan tubuhnya. Leher jenjang tangan gemulai dengan jari-jari lentik yang indah. Tubuhnya pun telah tumbuh sempurna sebagai wanita dewasa. 

Semua keindahan itu kini telah tersuguh dihadapannya, apalagi keindahan itu telah pula digenapkan oleh ungkapan rasa cinta dan kepasrahan dari sang pemiliknya. Rangkaian semua itu bagai minyak yang menyiram api yang telah ada sebelumnya. Yang sedianya hendak ia padamkan kini berkobaran tak terkendali. Benteng pertahanan yang dengan susah payah dibangunnya pun kini ikut pula roboh berkeping. Luluh lantak.

Dengan sigap sang begawan merengkuh Dewi Sukesi lalu dibopongnya tubuh molek penuh kepasrahan itu menuju tilam tak jauh dari tempat dimana mereka sebelumnya belajar dan mengajar ilmu yang amat luhur. Orang-orang tua dulu pernah berujar, ing kahanan kang sepi iku anane mung lali. Di sepi-sunyinya malam, berduaan berlainan jenis dalam ruangan tertutup yang redup-temaram membawa lupa, melenyapkan segala kesadaran yang lalu menghanyutkan kedua insan itu dalam lautan birahi. Tatas tuntas hinggalah fajar menjelang.

Dan telah terjadilah apa yang tidak sepatutnya terjadi. Seorang begawan yang telah memiliki ilmu lahir maupun bathin-pun masih bisa terperosok ke dalam jurang kehinaan yang amat dalam. Lalu yang tersisa kemudian hanyalah penyesalan atas keteledoran dan hilangnya kewaspadaan.
Dan gemeretak gigi Begawan Wisrawa karena menahan amarah, kecewa dan gundah gulana yang teramat dalam itu masih samar terdengar berbarengan dengan pipi yang basah oleh air mata.



Kaca Benggala Wisrawa

Di pagi buta hari itu, dari salah satu sudut puri keputren istana Alengka samar terdengar gemeretak gigi karena menahan amarah, kecewa dan g...